Friday, May 28, 2010

Orang Banjar dan Dayak di Kalimantan Selatan: Asal Usul dan Perhubungan Mereka* (Repost)

Oleh : Dr.Mohamed Salleh Lamry


Kalimantan Selatan Selayang Pandang

Provinsi Kalimantan Selatan kini ialah provinsi yang terkecil dari empat provinsi di Kalimantan. Bagaimanapun, tidak demikian pada masa yang lalu. Sehingga tahun 1957 Kalimantan Selatan ialah provinsi besar, yang merupakan gabungan dari Wilayah Kotawaringan, Dayak Besar, Daerah Banjar dan Federasi Kalimantan Tenggara. Kalimantan Selatan pada masa itu mengandungi provinsi yang kini dikenali sebagai Kalimantan Tengah.

Setelah orang Dayak di Kalimantan Tengah meminta provinsi mereka sendiri dengan melancarkan perang gerila dan mendapat sokongan dari Jakarta, mereka telah memperoleh provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1957. Wilayah Kotawaringin dan Dayak Besar dikeluarkan dari Kalimantan Selatan untuk membentuk provinsi Kalimantan Tengah. Sementara itu, Pasir (bahagian Federasi Kalimantan Tenggara) juga telah keluar dari Kalimantan Selatan dan bergabung dengan Kalimantan Timur. Dengan itu, Kalimantan Selatan kini hanya terdiri daripada Daerah Banjar dan sebahagian dari daerah Federasi Kalimantan Tenggara.

Walaupun kini Kalimantan Selatan merupakan provinsi yang terkecil, tetapi provinsi ini adalah provinsi yang paling padat penduduknya. Mengikut sensus penduduk tahun 2000 Kalimantan Selatan mempunyai penduduk 2,975,440 orang, sementara luas wilayah yang mereka diami hanya 37,660 km atau 14,000 batu persegi (Muller 1992).

Mengikut sensus 2000 juga, ada delapan etnik terbanyak di Kalimantan Selatan, iaitu Suku Banjar (2,271,586 orang), suku Jawa (391,030 orang), Suku Bugis (73,037 orang), Suku Madura (36,334 orang) Suku Bukit (35,838 orang), Suku Mandar (29,322 orang), Suku Bakumpai (20,609 orang), dan Suku Sunda (18, 519 orang). Suku lain, yang tidak dinyatakan namanya ialah 99,165 orang.

Dari data di atas, pada masa ini Suku Banjar ialah majoriti penduduk Kalimantan Selatan, sementara Suku Dayak (Bukit dan Bakumpai) kurang sepertiga dari jumlah Suku Banjar. Sebelum tahun 1957, ketika Kalimantan Tengah masih merupakan sebahagian daripada Kalimantan Selatan, jumlah Suku Dayak tentulah lebih banyak lagi.

Secara umum dapat dikatakan bahwa di Kalimantan (termasuk Kalimantan Selatan) suku Dayak menghuni kawasan pedalaman, sementara daerah pantai atau daerah hilir yang mengitari kawasan itu di huni oleh suku Banjar, Jawa, Bugis dan suku lainnya (Masri Singarimbun 1996: 258).

Asal Usul Orang Banjar

Portret van de ronggo van Banjarmasin met gevolg en kinderen 1860.Sumber : Troopen Museum, Amsterdam.

Mengenai asal usul orang Banjar, pada masa ini sekurang-kurangnya ada dua pendekatan yang cuba menerangkan fenomena tersebut. Pertama, pendekatan primordialisme yang dikemukakan oleh Alfani Daud. Kedua, pendekatan konstruktifis atau situasionalis yang pada mulanya dikemukakan oleh Idwar Saleh (1986), kemudian dikembangkan oleh Marko Mahin (2004).

Mengikut Alfani Daud (1997; 2004: 85) suku bangsa Banjar ialah penduduk asli sebagian wilayah provinsi Kalimantan Selatan, yaitu selain kabupaten Kota Baru. Mereka itu diduga berintikan penduduk asal Sumatera atau daerah sekitarnya lebih dari seribu tahun yang lalu. 

Setelah berlalu masa yang lama sekali, dan setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasanya dinamakan secara umum sebagai suku Dayak, dan dengan imigran yang datang kemudian, akhirnya terbentuklah setidak-tidaknya tiga sub-suku, iaitu Banjar Pahuluan, Banjar Batang Banyu dan Banjar Kuala.

Orang Pahuluan pada asasnya ialah penduduk daerah lembah sungai-sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke Pegunungan Meratus. Orang Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan oang Banjar Kuala mendiami daerah sekitar Banjarmasin dan Martapura.

Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya ialah bahasa Melayu – sama halnya seperti ketika mereka berada di daerah asalnya di Sumatera atau sekitarnya – yang di dalamnya terdapat banyak sekali kosa kata yang berasal dari kosa kata Dayak dan Jawa.

Nama Banjar diperoleh kerana mereka dahulu, sebelum dihapuskan pada tahun 1860, adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau dianggap sebagai Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya pada masa mula-mula didirikan. Ketika ibukota dipindahkan arah ke pedalaman, terakhir di Martapura, nama Banjar tersebut nampaknya sudah diterima umum dan tidak berubah lagi.

Dari segi agama, boleh dikatakan semua orang Banjar memeluk agama Islam. Dan mereka pada umumnya ialah orang yang taat menjalankan perintah agamanya.

Mengikut Idwar Saleh (1986: 12) pula, sebelum dan pada awal berdirinya Kesultanan Islam Banjar, baik etnik Banjar maupun etnik Dayak sama sekali tidak disebut. Hal itu bererti, Banjar, pada waktu itu belum menjadi identiti suku atau agama, dan hanya sebagai identiti diri yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal mereka. Dengan itu, Idwar Saleh menyimpulkan:

Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam bentuk kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju, Maayan dan Bukit sebagai inti. Inilah penduduk Banjarmasih ketika tahun 1526 didirikan. 

Dalam amalgamasi (campuran) baru ini telah bercampur unsur Melayu, Jawa, Ngaju, Maayan, Bukit dan suku kecil lainnya diikat oleh agama Islam, berbahasa Banjar dan adat istiadat Banjar oleh difusi kebudayaan yang ada dalam keraton….Di sini kita dapatkan bukan suku Banjar, kerana kesatuan etnik itu tidak ada, yang ada adalah group atau kelompok besar iaitu kelompok Banjar Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu dan kelompok Banjar Pahuluan. Yang pertama tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan daerah Martapura. Yang kedua tinggal di sepanjang Sungai Tabalong dari muaranya di Barito sampai dengan Kelua. Yang ketiga tinggal di kaki pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok Banjar Kuala berasal dari kesatuan- etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu berasal dari kesatuan- etnik Maayan, kelompok Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan- etnik Bukit. Ketiga ini adalah intinya. Mereka menganggap lebih beradab dan menjadi kriteria dengan yang bukan Banjar, iaitu golongan Kaharingan, dengan ejekan orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan sebagainya.

Selanjutnya menurut Idwar Saleh (1991):

Ketika Pangeran Samudra mendirikan kerajaan Banjar ia dibantu oleh orang Ngaju, dibantu patih-patihnya seperti Patih Balandean, Patih Belitung, Patih Kuwin dan sebagainya serta orang Bakumpai yang dikalahkan. Demikian pula penduduk Daha yang dikalahkan sebagian besar orang Bukit dan Manyan. Kelompok ini diberi agama baru iaitu agama Islam, kemudian mengangkat sumpah setia kepada raja, dan sebagai tanda setia memakai bahasa ibu baru dan meninggalkan bahasa ibu lama. Jadi orang Banjar itu bukan kesatuan etnis, tetapi kesatuan politik, seperti bangsa Indonesia.

Maka, berdasarkan pendapat Idwar Saleh (1991) dapat diambil kesimpulan, bahawa suku Banjar terbahagi kepada 3 subetnis berdasarkan wilayah tempat tinggal mereka dan unsur pembentuk suku itu, yang menggambarkan masuknya penduduk pendatang ke wilayah penduduk asli Dayak:

1. Banjar Pahuluan ialah campuran Melayu dan Bukit (Bukit sebagai ciri kelompok).
2. Banjar Batang Banyu ialah campuran Melayu, Maayan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Maanyan sebagai cirri kelompok)
3. Banjar Kuala ialah campuran Melayu, Ngaju, Barangas, Bakumpai, Maayan, Lawangan, Bukit dan Jawa (Ngaju sebagai ciri kelompok).

Adalah diakui pendapat yang dikemukakan oleh Alfani Daud dan Idwar Saleh masing-masingnya mempunyai kekuatan yang tersendiri. Namun, tulisan-tulisan terakhir tentang asal usul orang Banjar saya dapati lebih banyak yang memihak kepada pendapat Idwar Saleh. Misalnya, tim penelitian dari Departmen Pendidikan dan Kebudayaan (1977-78: 17) merumuskan bahawa Suku Banjar yang terdiri dari Banjar Kuala, Banjar Batang Banyu dan Banjar Hulu adalah bentukan dari Suku Dayak Maayan, Dayak Lawangan, Dayak Bukit Meratus dan Dayak Ngaju. Melalui proses pembauran yang memakan waktu berabad-abad, kelompok Dayak yang menggunakan bahasa Banjar, beragama Islam dan bercampur dengan suku Melayu dan Jawa lambat laun dalam kerajaan Banjar menjadi Suku Banjar, sementara yang tidak memeluk Islam dan tidak berbahasa Banjar, tetap menyebut diri mereka sebagai Dayak.

Asal Usul Orang Dayak


Orang-Boekit uit de Afdeeling Amoentai, 1881.
Sumber : KITLV Leiden


Ada pelbagai pendapat tentang asal-usul orang Dayak, tetapi setakat ini belum ada yang betul-betul memuaskan. Namun, pendapat yang diterima umum menyatakan bahawa orang Dayak ialah salah satu kelompok asli terbesar dan tertua yang mendiami pulau Kalimantan (Tjilik Riwut 1993: 231). Gagasan tentang penduduk asli ini didasarkan pada teori migrasi penduduk ke Kalimantan. Bertolak dari pendapat itu adalah dipercayai bahawa nenek moyang orang Dayak berasal dari China Selatan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Mikhail Coomans (1987: 3):

"…semua suku bangsa Daya termasuk pada kelompok yang bermigrasi secara besar-besaran dari daratan Asia. Suku bangsa Daya merupakan keturunan daripada imigran yang berasal dari wilayah yang kini disebut Yunnan di Cina Selatan. Dari tempat itulah kelompok kecil mengembara melalui Indo China ke jazirah Malaysia yang menjadi loncatan untuk memasuki pulau-pulau di Indonesia, selain itu, mungkin ada kelompok yang memilih batu loncatan lain, yakni melalui Hainan, Taiwan dan Filipina. Perpindahan itu tidak begitu sulit, kerana pada zaman glazial (zaman es) permukaan laut sangat turun (surut), sehingga dengan perahu-perahu kecil sekalipun mereka dapat menyeberangi perairan yang memisahkan pulau-pulau itu."

Adalah dipercayai bahawa penduduk Yunnan pada masa itu melakukan perpindahan untuk mencari tempat yang dianggap paling dapat memberikan kebebasan bergerak utnuk mencari nafkah, khususnya untuk berladang dan berburu. Rupanya perpindahan itu tidak hanya sekali terjadi, tetapi berlangsung secara bertahap, seperti dikatakan Coomans (1987:3):

Kelompok-kelompok pertama yang masuk wilayah Kalimantan ialah kelompok Negrid dan Weeddid, yang sekarang sudah tidak ada lagi. Kemudian disusul oleh kelompok yang lebih besar, yang disebut Proto Melayu. Perpindahan ini berlangsung lagi selama 1000 tahun, antara 3000-1500 sebelum Masehi.

Lebih lanjut disebutkan bahawa, “Sekitar lima ratus tahun sebelum Masehi berlangsung lagi suatu perpindahan besar dari daratan Asia ke pulau-pulau Indonesia. Kelompok-kelompok ini disebut Deutro-Melayu” (Coomans 1987: 4).

Mengikut Tjilik Riwut (1993: 231) Orang Proto Melayu (Melayu Tua) pada mulanya mendiami kawasan pantai. Akan tetapi, dengan kedatangan orang Melayu Muda, orang Melayu Proto terdesak ke pedalaman, sama ada kerana kalah perang atau kerana kebudayaan Melayu Tua lebih rendah jika dibandingkan dengan Melayu Muda. Kelompok Melayu Muda khasnya, sudah hidup menetap dalam satu komuniti, (seperti rumah panjang), dan mengenal teknik pertanian lahan kering, iaitu berladang.

Seorang penulis lain, Ch.F.H.Dumont (dipetik dari Tjilik Riwut 1993: 191) merujuk khusus kepada perpindahan orang Dayak ke pedalaman, seperti berikut:

Orang-orang Dayak ialah penduduk pulau Kalimantan yang sejati, dahulu mereka ini mendiami pulau Kalimantan, baikpun pantai-pantai baikpun sebelah ke darat. Akan tetapi tatkala orang Melayu dari Sumatera dan Tanah Semenanjung Melaka datang ke situ terdesaklah orang Dayak itu lalu mundur, bertambah lama, bertambah jauh ke sebelah darat pulau Kalimantan.

Teori tentang migrasi ini sekaligus boleh menjawab persoalan: mengapa suku bangsa Dayak kini mempunyai begitu banyak sifat yang berbeza, sama ada dalam bahasa mahu pun dalam ciri-ciri budaya mereka.

Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, iaitu Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Keenam rumpun ini terbagi lagi kepada lebih kurang 405 sub suku. Meskipun terbagi kepada ratusan sub suku, kelompok suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu salah suatu sub suku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak. Ciri-ciri tersebut ialah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit beliong (kapak Dayak) pandangan terhadap alam, mata pencarian (sistem perladangan) dan seni tari.Perhubungan Orang Banjar dan Dayak Masa Lalu.

Sejak munculnya kerajaan Islam Banjar pada tahun 1526, hubungan antara orang Banjar dengan orang Dayak mungkin tidaklah begitu berbeza dengan hubungan kerajaan Islam yang lain dengan orang Dayak di Kalimantan pada keseluruhannya. Meminjam kata-kata seorang ahli antropologi kolonial van Linden (Djuweng 1996: 3 dalam Yeti Maunati 2004:311) nasib orang Dayak adalah dijajah, bukan memerintah. Selama berabad-abad, orang Dayak sudah menjadi bawahan politik kepada kekuasaan lokal, nasional dan kolonial.

Secara lebih khusus, hubungan antara Kesultanan Banjar dengan orang Dayak mungkin ada persamaannya dengan hubungan antara Kesultanan Kutai dengan orang Dayak di Kalimantan Timur. Mengikut Magenda 1991: 2) sebelum masa penjajahan Belanda, wilayah kekuasaan Kesultanan Kutai meliputi orang Dayak di pedalaman, malah pada akhir abad ke-15, kesultanan itu sesungguhnya sudah menjadi persekutuan yang longgar yang terdiri daripada komuniti Dayak dengan seorang raja Melayu dipuncak kekuasaannya. Namun, Kesultanan Kutai yang baru pada awal abad ke-16 adalah kesultanan Melayu par excellence, serupa dengan kesultanan Melayu lainnya didaerah Pesisir Sumatra dan Kalimantan.

Baik Magenda (1991) mahupun Rousseau (1990) menyatakan bahawa orang Kutai berusaha menguasai orang Dayak, tetapi mereka tidak dapat melakukan sepenuhnya kerana orang Dayak boleh berpindah lebih jauh ke pedalaman. Keadaan demikian diperkirakan berlaku juga di Kalimantan Selatan dalam perhubugan antara orang Banjar dengan orang Dayak


Malah, di Kalimantan Selatan pernah berlaku pemberontakan oleh suku Dayak terhadap Sultan Banjamasin, Sultan Sulaiman pada tahun 1824-1825. Pemberontakan itu dilakukan oleh orang Dayak Bakumpai, di bawah pimpinan Pembakal (Kepala) Kendet, ketua mereka. Walaupun isterinya adalah keluarga Sultan, tetapi sejak 1816 lagi hubungannya dengan Sultan tidak begitu baik. Sultan tidak berupaya menundukkannya, dan ia hanya dapat dikalahkan dengan bantuan Belanda pada tahun 1825. Ia dijatuhkan hukuman mati pada 7 Maret di tahun tersebut (Helius Sjamsudddin 2001: 50).

Walau bagaimanapun, dalam sejarah Kalimantan Selatan hubungan antara orang Banjar dengan orang Dayak juga dicirikan oleh hubungan persaudaraan dan ikatan kekeluargaan, kerana adanya perkahwinan yang kerap antara Raja Banjar dengan puteri Dayak. Misalnya, dari tradisi lisan suku Dayak Ngaju diketahui bahawa isteri Raja Banjar pertama yang bernama Biang Lawang adalah etnik Dayak Ngaju. Isteri kedua Raja Banjar pertama yang bernama Noorhayati, menurut tradisi lisan suku Dayak. Maayan, berasal dari etnik mereka. Dalam Hikayat Banjar pula ada disebut bahawa salah seorang isteri Raja Banjar ketiga, Sultan Hidayatullah juga puteri Dayak, iaitu puteri Khatib Banun, seorang tokoh Dayak Ngaju. Dari rahim puteri ini lahir Marhum Panembahan yang kemudian naik takhta dengan gelaran Sultan Mustainbillah. Puteri Dayak berikutnya ialah isteri Raja Banjar kelima, Sultan Inayatullah, yang melahirkan Raja Banjar ketujuh, Sultan Agung. Dan Sultan Tamjidillah (putera Sultan Abdulrahman bin Sultan Adam) juga lahir dari seorang puteri Dayak berdarah campuran Cina, iaitu Nyai Dawang.

Sementara itu, dari perkawinan Pangeran Antasari dengan Nyai Fatimah, saudara perempuan Tumenggung Surapati kepala suku Dayak Siang Murung, lahir Sultan Muhamad Seman, yang kemudian meneruskan perjuangan ayahnya menentang Belanda, sehingga gugur oleh peluru Belada pada tahun 1905. Dalam masa perjuangan itu, Muhammad Seman telah mengahwini dua puteri Dayak dari suku Dayak Ot.Danum. Anak Sultan Muhamad Seman, Gusti Berakit juga mengahwini puteri kepala suku Dayak yang tinggal di tepi sungai Tabalong pada tahun 1906.

Hubungan persahabatan yang erat antara orang Banjar dengan Dayak jelas kelihatan apabila kedua-dua suku itu berjuang bersama-sama melawan Belanda dalam Perang Banjar (1858-1905). Meskipun ketika berlakunya peperangan itu tidak dinafikan ada ketua suku Dayak yang berpihak di sebelah Belanda, tetapi penyertaan dan sokongan suku Dayak dalam Perang Banjar itu nampaknya sangat terserlah. Dalam peperangan yang memakan masa yang agak panjang itu, ramai pahlawan perang itu terdiri daripada etnik Dayak, antaranya yang paling menonjol ialah Tumenggung Surapati, Panglima Batur (dari suku Dayak Siang Murung), panglima Unggis, Panglima Sogo, Panglima Batu Balot (seorang wanita), dan panglima Wangkang (dari suku Dayak Bakumpai).

Pada zaman kolonial Belanda pula, hubungan persaudaraan dan ikatan keluargaan antara orang Banjar dengan orang Dayak masih berterusan. Namun, berbanding dengan orang Dayak, lebih banyak orang Banjar yang berpeluang memasuki birokrasi kolonial, sekurang-kurangnya sebagai pegawai rendah. Dengan itu, orang Dayak terus menjadi subordinat kepada orang Banjar yang menjadi pegawai kerajaan kolonial itu seperti pada zaman Kesultanan juga.

Hubungan Orang Banjar dan Dayak Masa Kini

Walaupun orang Banjar dan orang Dayak berasal dari masa silam yang sama, tetapi kini masa silam yang sama itu mungkin tidak penting lagi. Yang lebih menonjol kini ialah identitas yang baru – orang Banjar dan orang Dayak adalah dua kumpulan etnik yang berbeda Dan atas identiti baru itu, dua suku yang bertetangga – Banjar dan Dayak -- telah terlibat dengan persaingan dalam pelbagai bidang kehidupan. Dengan itu, Hairus Salim (1996: 227) menganggap bahawa hubungan orang Banjar dengan orang Dayak kini ialah hubungan yang “tak selalu mesra”.

Hubungan orang Banjar dengan orang Dayak yang tidak selalu mesra itu telah diungkapkan oleh Anna Lowenhaupt Tsing (1993), seorang ahli antropologi dari Universiti California, dalam kajiannya tentang Dayak Meratus atau Dayak Bukit, yang banyak bermukim di sekitar pergunungan Meratus di Kalimantan Selatan.

Walaupun “hubungan kultural” antara orang Banjar dan Dayak telah “terputus” apabila “Banjar” ditegaskan sebagai identiti mereka yang beragama Islam, dan orang Dayak pula ialah orang yang “bukan Islam”, tetapi menurut Tsing (1993) hubungan ekonomi dan politik yang berasaskan kawasan antara kedua-dua suku tetap berlangsung terus. Hubungan ekonomi dan politik yang berasaskan kawasan itu pada masa kebelakangan ini diatur oleh “pentadbiran negara”.

Dari segi ekonomi, orang Banjar sebenarnya terlibat dengan hubungan perdagangan yang intensif dengan suku Dayak Meratus, malah merekalah yang menjadi perantara bagi perkembangan ekonomi wilayah (Hairus Salim 1996: 230). Orang Banjar mendominasi pasar minggu kecil dihujung jalur yang menuju pegunungan Meratus. Keperluan-keperluan suku Dayak seperti pakaian, garam, perkakas logam dan barang-barang mewah lainnya disalurkan oleh orang Banjar. Sementara itu dengan berjalan kaki atau naik rakit, orang Dayak Meratus datang ke pasar tersebut untuk menjual rotan, getah, kacang, kayu ulin, kayu kemenyan dan hasil-hasil hutan yang lain kepada orang Banjar, yang kemudian menjualnya juga ke bandar.

Walau bagaimanapun, hubungan perdagangan antara orang Banjar dengan orang Dayak itu berlangsung dalam keadaan yang sangat tidak seimbang. Sebagai perantara, orang-orang suku Banjar mempunyai kedudukan tawar menawar yang lebih tinggi. Mereka boleh menetapkan harga mengikut kemahuan mereka, yang menyebabkan suku Dayak Meratus selalu merasa dirugikan. Akan tetapi, orang Dayak tidak dapat berbuat apa-apa, kerana mereka tidak mempunyai pilihan lain.

Selain itu, orang-orang Dayak Meratus juga tidak berpuas hati kerana mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mendapatkan kredit daripada pedagang Banjar; jauh dari pemilik sarana pengangkutan, truk atau motorboat, gudang, dan tempat pengeringan getah, yang semuanya dimiliki oleh orang Banjar; tidak mempunyai jaringan untuk mendapatkan modal, kemudahan-kemudahan penyimpanan, dan tempat tinggal di bandar Banjarmasin; akses yang sangat terbatas untuk mengetahui keadaan pemasaran dan seterusnya (Tsing 1993: 55-56).

Perhubungan perdagangan yang tidak seimbang itu, diperkuatkan pula oleh hubungan orang Banjar yang rapat dengan “negara”. Orang Banjar adalah penguasa politik pada peringkat wilayah. Bahkan kepentingan negara di kalangan suku Dayak diartikulasikan oleh kepentingan-kepentingan suku Banjar. Di daerah Meratus, ‘’kepentingan negara” menjelma menjadi kepentingan orang Banjar. Ini ialah kerana pegawai-pegawai pemerintah pada peringkat kabupaten dan kecamatan, dan pegawai tentera, pertanian dan kesihatan yang melakukan hubungan dengan orang Dayak ialah orang-orang suku Banjar. Dengan itu, negara dan kepentingan nasional tampil di kalangan Dayak Meratus dengan wajah Banjar.

Wajah “negara” dalam artikulasi kepentingan suku Banjar itu diperlihatkan Tsing (1991) misalnya dalam dasar negara mengenai pembangunan masyarakat terasing pada tahun 1970-an. Dalam pentadbiran dasar itu, pada tahun 1971 suku Dayak Meratus dimasukkan sebagai salah satu dari masyarakat terasing. Maka pegawai pemerintah yang kebanyakannya terdiri daripada orang Banjar telah membuka hutan untuk menjadi tempat tinggal baru bagi orang Dayak Meratus. Bagaimanapun, dengan pembukaan hutan itu, orang Banjar juga mendapat kesempatan untuk berpindah ke kawasan baru tersebut, dengan jaminan mendapat perkhidmatan dan tanah. (Tsing 1991: 45). Sebagai akibatnya, tidak lama selepas itu, pemukiman baru itu telah didominasi oleh orang Banjar, kerana penguasaan mereka terhadap jalur perdagangan dan politik wilayah. Sementara itu, orang Dayak Meratus sendiri terus tersingkir, bahkan kemudian banyak yang pulang ke tempat mereka yang asal.

Tidak dinafikan masyarakat Dayak Meratus berpeluang mengenal kemajuan melalui pelbagai dasar negara yang diartikulasikan oleh pegawai pemerintah dari suku Banjar. Mereka mempelajari ekonomi global daripada pedagang Banjar. Orang Meratus juga mengenali birokasi negara di tingkat wilayah melalui orang Banjar. Akan tetapi, hubungan itu tetap bersifat artifisial, kerana dalam banyak hal justru membuat orang Dayak semakin jatuh dan jauh terpinggir dari yang mereka alami sejak zaman pra-kolonial dan kolonial (Hairus Salim 1996: 231).

Perhubungan orang Banjar dengan orang Dayak masa kini memasuki tahap yang baru, apabila mulai tahun 2000, suku Dayak Meratus terlibat dengan konflik yang agak serius dengan golongan penguasa Kalsel yang terdiri daripada orang Banjar. Hal ini berkaitan dengan dasar dan tindakan Sjachriel Darham, Gubernor Kalsel masa itu yang nampaknya tidak mengambil kira kepentingan orang Dayak. Sjachriel Darham telah membenarkan sebahagian Hutan Lindung Pegunungan Meratus, tempat tinggal orang Dayak, seluas 46,270 hektar, diberikan kepada perusahaan perkebunan berskala besar, PT Kodeco Group, yang berasal dari Korea Selatan.

Sebagaimana yang diketahui suku Dayak Meratus telah mendiami kawasan pegunungan Meratus itu sejak turun temurun. Hutan itu merupakan sumber kehidupan mereka, kerana memang di situlah tempat tinggal mereka sejak lama. Oleh itu, sudah tentu suku Dayak Meratus tidak menyetujui Hak Pengusahaan Hutan (HPT) kawasan hutan itu diserahkan kepada pengusaha besar. Apatah lagi pemberian konsesi kepada perusahaan dari Korea itu akan melibatkan alih fungsi sebahagian kawasan pergunungan Meratus dari hutan lindung kepada hutan produksi.

Oleh itu, mendengar kawasan hutan lindung itu akan dijadikan kawasan Hak Penguasaan Hutan (HPH) Kodeco, ratusan warga masyarakat Dayak Meratus berkali-kali turun ke Banjarmasin untuk mengadakan tunjuk perasaan, sama ada kepada DPRP mahupun kepada Gabenor sendiri. Sejak tahun 1998 hingga awal 2000 dikatakan lebih 20 kali warga pedalaman itu mengadakan tunjuk perasaan ke Banjarmasin dengan tuntutan yang sama: menolak kawasan Meratus dijadikan kawasan HPH. Namun, tuntutan mereka tidak pernah diberi perhatian yang sewajarnya. (Kompas,1 Ogos 2001).

Tuntutan warga Dayak Meratus itu akhirnya didengar oleh beberapa LSM. Mereka memberi sokongan dengan membentuk Aliansi Meratus yang merupakan gabungan 33 LSM. Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Kalsel (LMMD-KS) dan LSM Telapak Indonesia yang beribu pejabat di Bogor juga memberi sokongan moral kepada warga Dayak Meratus dengan mengecam Pemda Kalsel.

Para aktivis itu jugalah yang meneruskan tuntutan warga Dayak Meratus, sama ada kepada Gabenor Sjachriel mahupun kepada DPRD tempatan. Namun, pihak Pemda bertindak balas untuk melumpuhkan gerakan itu dengan mengadukan Koordinator Aliansi Meratus, Hairansyah kepada pihak polis dengan tuduhan menghasut rakyat untuk mengadakan tunjuk perasaan.

Ketika isu yang berkaitan dengan pemberian sebahagian hutan lindung Pegunungan Meratus kepada perusahaan besar itu belum lagi selesai, timbul pula isu lain yang melibatkan kawasan yang sama, iaitu pemberian hak melombong kepada pengusaha perlombongan emas, PT Meratus Sumber Mas oleh pemerintah daerah. Tindakan pemerintah daerah ini mendapat tentangan daripada kira-kira 750 orang perwakilan dari 300 balai (rumah besar pusat kegiatan adat) yang tersebar di seluruh Kalimantan Selatan, yang mengadakan kongres selama empat hari, berakhir pada 26 Jun 2003 di Samarinda (Kompas 1 Julai 2003). Namun, penentangan warga Dayak Meratus itu nampaknya tidaklah mendapat perhatian yang sepatutnya daripada pemerintah daerah yang dikuasai oleh orang Banjar.

Oleh yang demikian, sebuah LSM terkenal yang prihatin tentang masalah alam sekitar, yaitu WALHI, dalam beritanya pada 2 Juni 2006 menyatakan: 

"...Hutan Lindung Meratus, kawasan hutan asli yang masih tersisa di Propinsi Kalimatan Selatan, “rumah terakhir” masyararakat Dayak Meratus saat ini menjadi kawasan yang paling terancam. Saat ini pemerintah dan pengusaha tambang serta perkebunan skala besar melakukan berbagai cara, termasuk memecah masyarakat Dayak Meratus melalui perubahan tapal batas antar kabupaten, sayangnya kebutuhan masyarakat bertolak belakang dengan keinginan pemerintah daerah (Walhi 2006)."

Apabila disebut pemerintah daerah tentulah merujuk kepada orang Banjar, kerana orang Banjarlah yang merupakan penguasa pada peringkat tersebut. Ini bermakna konflik antara orang Dayak dengan orang Banjar masih berterusan.

Kesimpulan

Meskipun orang Banjar berasal dari orang Dayak, ataupun dari percampuran orang Dayak dengan pelbagai suku yang lain, tetapi setelah orang Banjar memeluk agama Islam dan menubuhkan kerajaan Islam Banjar, “perpisahan” antara kedua suku itu nampaknya sudah merupakan sesuatu yang berkekalan. Mungkin sejak zaman dahulu lagi, orang Dayak yang tidak memeluk agama Islam memilih tinggal di kampung yang berasingan dari kampung orang Banjar; di tempat yang umumnya terletak di pedalaman.

Kemunculan kerajaan Islam Banjar pada abad ke-16, nampaknya menandakan bermulaanya kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar, kerana orang Banjar adalah kelas pemerintah yang wilayah pemerintahannya meliputi juga kawasan yang didiami oleh orang Dayak. Kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar ini boleh dikatakan tidak berubah pada zaman penjajahan dan lebih jelas lagi pada zaman selepas kemerdekaan, kerana pada zaman selepas kemerdekaan memang orang Banjarlah yang menduduki jawatan penting dalam pemerintahan daerah, di samping mereka juga yang menguasai perdagangan yang melibatkan orang Dayak.

Jika kita lihat hubungan orang Banjar dengan orang Dayak pada masa mutakhir, hubungan mereka nampaknya bukan sahaja tidak mesra, malah sudah melibatkan konflik yang agak serius. Hubungan tidak mesra itu sudah kelihatan sejak lama, melibatkan golongan pedagang Banjar dan penguasa Banjar, yang jelas lebih berkuasa ke atas orang Dayak Kini timbul pula isu baru yang menimbulkan konflik, iaitu tindakan pemerintah daerah yang diketuai oleh Gabenor dari etnik Banjar yang memberikan kawasan hutan tempat tinggal orang Dayak Meratus kepada pengusaha perkebunan dan perlombongan besar.

Tidaklah dinafikan pemberian kawasan hutan untuk diusahakan oleh pengusaha besar itu ada juga faedahnya kepada orang Dayak, misalnya dari segi wujudnya peluang pekerjaan, dan mungkin terbinanya jalan yang akan menghubungkan kawasan tempat tinggal orang Dayak dengan kawasan bandar. Namun, sebagaimana yang terbukti dari kajian di tempat lain, (lihat Syarif Ibrahim Alqadrie 1994, 244-260; Patingi Y.A.Aris 1994, 261-66), kesan negatif dari aktiviti pembukaan kawasan hutan dan perlombongan itu kepada kehidupan penduduk setempat jauh lebih banyak dari kesan positifnya. Itulah sebabnya orang Dayak tidak menyetujui kawasan hutan tempat tinggal mereka diberikan kepada pengusaha besar.

Walau bagaimanapun, kedudukan orang Dayak sebagai subordinat kepada orang Banjar nampaknya tidak memungkinkan mereka menentang dasar pembangunan penguasa Banjar yang merugikan mereka, dan dengan itu sangatlah sukar mereka keluar dari kehidupan mereka yang mundur dan terpinggir. Barangkali orang Dayak hanya mungkin keluar dari keadaan mundur dan terpinggir itu, setelah melalui satu masa yang agak lama, khasnya setelah mereka mencapai taraf pendidikan yang memadai dan dengan itu dapat menduduki jawatan penting dalam pemerintah daerah, sama ada dalam bidang birokrasi mahupun politik. Memang sebagaimana yang sering berlaku, orang Dayak hanya mungkin bermobiliti ke atas, walaupun agaknya secara beransur-ansur, melalui jalan pendidikan.

* Kertas kerja untuk Konferensi Antaruniversiti Se Borneo-Kalimantan Ke-3, Banjarmasin,15-17 Jun 2007.
** Mantan Prof.Madya dan Sarjana Tamu, Program Antropologi dan Sosiologi, UniversitiKebangsaan Malaysia
Rujukan:Agama dan Etnisitas: Kajian Tentang Asal Usul Pembentukan Etnis Banjar.Kandil. Edisi 6, Tahun 11, Agustus-Oktober
Alfani Daud. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa
Kebudayaan Banjar. Jakarta: Rajawali Press.
Alfani Daud. 2004. Islam dan Asal-Usul Masyarakat Banjar. Kandil.
Edisi 6, Tahun 11, Agustus-Oktober.
Coomans, M. 1987.Manusia Daya, Dahulu, Sekarang dan Masa Depan. Jakarta: PTGramedia.
Hairus Salim HS. 1996. Islam Banjar, Relasi Antar Etnik, dan Pembangunan. DalamKisah dari Kampung Halaman . Yogyakarta: Penerbit Dian/Interfidei
Hudson, A.D. & Judith M.Hudson. 1984. Telang: Sebuah Desa Ma’ayan diKalimantan Tengah. Dalam Koentjaraningrat (pnyt.) Masyarakat Desa diIndonesia Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.Hudson, A.B. 1972. Padju Epat: The Ma’anyan of Indonesian Borneo. New York:
Holt, Rinehart and Winston.
King.V.T. 1994. The Ethnic Groups of Borneo. Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed &Co.
King.V.T. 1985. Kedudukan Sosial dan Perubahan Sosial di Kalangan Suku Maloh,Kalimantan Barat. Dalam Dove, M.R (pnyt.) Peranan Kebudayaan Tradisionaldalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kompas. 2001. Meratus Nasibmu Kini… 

Jum'at tanggal 28 Mei 2010 pukul 16.28 WIB (wilayah DIY/Jateng) & 17:18 WITA (wilayah BJM) matahari pas berada di atas Ka'bah Makkah, jadi kita dapat melihat garis bayangan matahari di tempat kita, mudah-mudahan kita dapat membenarkan arah kiblat , Insya Allah.

Tuntut lah ilmu dari buaian hingga liang lahat..dan kejarlah hingga ke negeri cina..setelah itu ikat dia dengan menuliskannya

Wednesday, May 26, 2010

Yes...yes...yes....Bandung...bandung...bandung....

[Review] 5 cm

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Outdoors & Nature
Author:Donny Dhirgantoro
Buku ini bercerita tentang persahabatan tanpa batas 5 anak manusia langka yang jarang ditemukan. Keakraban dan kebersamaan mereka sudah seperti tim pembela kebenaran: POWER RANGER karena komposisi mereka yang tepat berlima. Arial, genta, Ian, Zafran, Riani bersahabat sangat akrab. Sehingga hari-hari mereka selalu dilewati bersama.

Salah satu diantara mereka: Arial berciri khas lelaki sejati, badan kekar dan tegap hasil latihan intensif fitnes di pusat kebugaran, mempunyai saudari kembar bernama Arinda. Seperti abangnya yang ganteng otomatis kembaran nya juga cantik . Begitu identiknya mereka bahkan apa yang dilakukan oleh Arial tak berbeda jauh dengan adiknya yang selalu taat peraturan alias polos karena sudah jadi kebiasaan mereka. Hasil didikan orangtuanya dari kecil. Diantara mereka berlima (tidak termasuk Arial dan Riani) tertarik dengan Arinda.

Siapakah dia??? Baca sendiri aja, karena ini juga salah satu cerita cinta yang menarik untuk dibaca. hehe

*************

Genta yang mempunyai jiwa leadership yang tinggi, sangat cocok berteman dengan cewe unik bernama Riani, wajahnya cantik menggunakan kacamata. Kata teman-temannya Riani merupakan perpaduan Lisa Loeb dan Kate Winslet. Ian terkenal dengan sosoknya yang mirip teletubies. Apalagi zafran sosok ceking keahlian nya untuk berpujangga begitu disukai banyak wanita. Inilah ciri khas tersendiri dari seorang Zafran yang mempunyai jiwa sang penyair.

...dan semuanya akan tambah indah kalo kita tetap jadi diri kita sendiri..bukan orang lain..


Saat mereka berkumpul di markas kebesaran mereka : Secret Garden dan Halaman sekolah untuk melakukan ritual mereka. Tiba-tiba mereka pengen puasa ketemuan dulu hingga 3 bulan. Sampai batas waktu yang ditentukan, yaitu salah satu hari di bulan Agustus.

Lantas, apa yang terjadi setelah mereka berpisah selama 3 bulan??? So, nikmati aja buku karangan Donny Dhirgantoro ini. Tebalnya yang berjumlah 381 halaman akan ngga terasa jika kalian (membaca) dan masuk dalam cerita mereka.

Temukan tentang bagaimana:
Riani: jadi Tim peliput berita
Ian: Sanggup menyelesaikan skripsi dalam tiga bulan berkat bimbingan luar biasa dari Sukonto Legowo.
Arial: Berhasil menjalin hubungan dengan miss fitness:Indy
Genta: Sukses besar saat jadi Leader event organizernya


Jangan pernah percaya atau beranggapan HOKI telah membantu kita. Sesungguhnya karena upaya/usaha yg kita lakukan lah menumpuk dan menunggu untuk dibalas. Sehingga ALLah akan membalas upaya/usaha kita dengan CARA dan WAKTU yang tepat...


Mereka sepakat untuk memilih Genta untuk mengatur format pertemuan. Sehingga konsep acara tersebut otoritasnya dipegang penuh oleh Genta. Karena kapasitas genta yang tidak diragukan lagi untuk membuat acara dengan jiwa kepemimpinannya.


Hari itu tiba....acara apa yang akan disiapkan oleh genta untuk teman-temannya yang sudah RINDU SETENGAH MATI untuk bertemu, Sekali lagi ayo baca buku ini..ngga nyesel deh...

**********

Akhirnya setelah melalui perjuangan yang sangat berat, mereka berenam sampai diPuncak Mahameru. Setelah sebelumnya beberapa kejadian-kejadian aneh dan tak terduga mereka temukan dalam perjalanan yang cukup melelahkan. Ada beberapa kejadian penting dan mistis yang mereka temukan saat perjalanan. So, rugi deh kalau kalian belum baca buku ini...(kompor:mode-on[lagi]). Apalagi bagi kalian yang ngakunya hobi petualangan dan senang bergaul. Dijamin bakal indah deh, cerita tentang persahabatan ini.


Dari alur cerita yang dibuat penulis, saya benar-benar terbuai masuk dalam
perjalanan 6 anak manusia tersebut. Saya yakin penulis sangat suka menghafal
lagu-lagu terbaik di zamannya masing-masing. Terlihat pada isi novel ini yang
terselip beberapa lirik lagu dan penyanyi terkenal yang didokumentasikan
penulis. Yang paling menarik dan hal yang menurut saya paling lucu adalah adu
argumentasi melalui percakapan antara Ian, Malaikat baik, malaikat jahat,
komputer, Ms. word, Ms. Excel saat ian mengejar target untuk selesai
skripsi dengan jangka waktu 3 bulan.


Saya bingung harus berkomentar apa tentang Ending yang dibuat oleh penulis, benar-benar akhir yang tak saya kira. Benar-benar menggugah dan menguatkan hati saya. Nah...lho kok????.

Mau tau tentang akhir cerita nya baca aja 5 cm nya langsung dengan kedua mata anda langsung.

..."Setiap kamu punya mimpi atau keinginan atau cita-cita, kamu taruh disini, didepan kening kamu....jangan menempel.Biarkan...."

"Dia...."

"Menggantung...."

"Mengambang...."

"5 centimeter..di depan kening kamu.."

"Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu..."

Thursday, May 20, 2010

Kunanti

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Other
Artist:Arwana
Akhirnya ketemu juga lagu lama favoritku waktu kecil.
walaupun lagunya orang dewasa, lagu ini begitu enak didengar karena
menyelipkan musik etnik dari alat musik tradisional. Waktu itu aku belum terlalu "Ngeh" dengan liriknya. Namun instrumen musik yang dipakai mengalunkan melodi yang harmoni sungguh senang mendengarnya. Band asal Kalimantan Barat ini terasa kental "aroma" musiknya lewat alunan gesekan dawai biola Hendri lamiri.

Lagu ini sangat tepat ketika dinikmati pada sore hari baca buku sambil minum teh di Bungalow pekarangan rumah, saat angin sepoi-sepoi atau hujan, hehe. Karena musiknya yang berirama merdu sangat cocok untuk me"rileks" kan pendengar.

Satu lagi suka dengan lagunya bukan dengan lirik syahdunya. Jadi jangan di Interpretasikan macam-macam jika saya menyukai lagu ini..hehe

Penilaian saya buat lagu lama ini adalah ***** (lima bintang)

==========

Kunanti
By Arwana

Katakan Sayang Adakah Cinta Untukku
Lama Kunanti Tak Juga Engkau Kembali

Oh Tak Tahu Mengapa
Bimbang Hati ini Menunggu

Katakan Sayang Masihkah Engkau Yang Dulu
Sekian Lama Kunanti Kabar Darimu

Oh Tak Tahu Mengapa
Bimbang Hati ini Menunggu

Reff

Setulus Hati ini Kuserahkan Kepadamu
Sebagai Tanda Cinta
Suciku Untuk Dirimu
Begitu Tega Engkau Mempermainkan Diriku
Tak Tahu Kini Engkau Dimana...

Jangan pernah percaya atau beranggapan HOKI telah membantu kita. Sesungguhnya karena upaya/usaha yg kita lakukan lah menumpuk dan menunggu untuk dibalas. Sehingga ALLah akan membalas upaya/usaha kita dengan CARA dan WAKTU yang tepat...

Friday, May 7, 2010

Pengusaha nyentrik dari penjual telur

Ternyata Bob Sadino-pengusaha yang terkenal nyentrik itu dulunya adalah seorang penjual telur. Dari pengakuan beliau, indonesia mengenal ayam dan telur karena beliau. Benar atau tidaknya, saya sendiri masih sangsi kebenarannya.

Kalian pernah dengar, tentang Bob Sadino yang pernah dipanggil ke Gedung DPR. Kemudian dengan ciri khas beliau yang selalu menggunakan Kemeja sederhana dan celana pendek diatas lutut memenuhi panggilan tersebut. Saat itu seluruh media heboh dengan beritanya masing-masing. Media massa (cetak-elektronik) yang kontra dengan Bob, memberitakan: Bob Sadino sangat lancang, melecehkan DPR dengan datang ke gedung DPR dengan celana pendek. Lalu bagaimana dengan tanggapan Om bob mengenai pemberitaan tentang dirinya. Dengan tegas, Bob Sadino menyampaikan:

"Saya bukannya lancang, datang ke senayan hanya menggunakan celana pendek. Itu wajar saja menurut saya. Karena mengenakan celana pendek dan kemeja sederhana itu adalah pakaian dinas saya".

Saat om bob berargumen seperti itu, saya tertawa terbahak-bahak. Kenapa??? lucu ajaa..hee.

Selanjutnya om bob, sedikit nyeletuk menyindir oknum-oknum tertentu dengan guyonan:

"Itulah bedanya saya.
Celana pendek dan kemeja sederhana ini merupakan pakaian dinas dengan uang sendiri".

"Tentu saja berbeda dengan pakaian dinas dari uang rakyat".

Ada hal-hal menarik yang dapat diambil hikmah dari nonton satu jam bersama Om Bob Sadino yang tayang di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Walau tak semua perilaku dan tingkah Om Bob yang kita tiru. Ambil yang baik dan buang yang buruk.

Tuesday, May 4, 2010

[Perjalanan] Hujan (Tanjung-Barabai)

Kelelahan tingkat tinggi dibayar lunas dengan kepuasan saya berkeliling dan menjelajah seluruh desa dan kecamatan terujung kalimantan selatan. Dari Jaro yang terletak diantara perbatasan Kalsel-Kaltim hingga kecamatan terujung birayang, pagat yang merupakan beberapa kecamatan dikabupaten Hulu Sungai Tengah:Barabai.

Perjalanan yang melelahkan kami mulai jam 10 pagi berangkat dari banjarmasin langsung ke Tanjung sebelum barabai dengan pertimbangan memudahkan kami nanti saat pulang kembali ke Banjarmasin.
Ini kali pertama bagi saya mengelilingi seluruh kecamatan di daerah yang sangat terkenal dengan potensi alam tambang batubara nya.

Tak heran kota ini berkembang begitu pesat, terlihat dari beberapa infrastruktur perkantoran dan hotel mewah yang dibangun ditempat ini.
Sambil jalan-jalan saya coba berinteraksi dengan masyarakat sekitar, bertanya masalah-masalah kecil tentang keadaan sosial hidup di kota tambang ini.
Kata ibu pedagang dipasar Tanjung dan Muara Uya dengan logatnya yang khas, sebagian penghasilan mereka dari berdagang dan hasil "menureh gatah".

Sangat menyenangkan saat dapat berinteraksi langsung dengan penduduk (asli) setempat, sambil berdiskusi ringan. Sesekali saya tersenyum mendengar gaya dan logat khas mereka berbicara, namun tetap berusaha santai agar tak seolah menertawakan mereka.hihi.

Selain itu kota tanjung ini penghasil buah langsat terbesar dan terbaik. langsat Tanjung memang terkenal dengan buahnya yang manis.
Saat itu saya sangat senang dapat langsung melihat kebun atau hutan yang penuh dengan pohon langsat. Sesekali saya sempat terkecoh dengan pohon karet yang batang pohonnya mirip dengan pohon buah langsat.

Untuk tingkat perekonomian dan pembangunan dikota ini boleh dikatakan sangat tinggi karena disokong oleh Pendapatan daerah yang berasal dari tambang batubara, karet dan perdagangan. Tak heran jika dikota ini dibangun Hotel mewah dan satu-satunya diantara banua lima. Kondisi hotel penuh oleh para tamu-tamu tambang dan pejabat-pejabat instansi terkait yang datang dari luar daerah untuk melakukan tugasnya di kota ini.

Setelah puas berkeliling Tanjung, perjalanan saya lanjutkan ke Kota Barabai berikut kecamatan-kecamatan didaerah tersebut. Dari tanjung awan gelap mengiringi perjalanan yang memerlukan waktu satu jam perjalanan menuju barabai melewati kabupaten pemekaran Paringin/Balangan.

Sebelumnya saya tak pernah berkunjung ke kota Barabai. Ibukota dari kabupaten Hulu Sungai Tengah ini terletak disebelah utara Banjarmasin. Jaraknya kurang lebih 160 km dari Banjarmasin atau sekitar 4 jam perjalanan darat dengan mobil. Jika kalian dari Banjarmasin kalian akan disambut oleh tugu burung enggang hitam besar sebagai tanda memasuki wilayah Barabai.

Saya Sempat penasaran dengan kota yang terkenal dengan penganan tradisional khas "apam"nya. Konon, warga sekitar mempunyai karakteristik sama dengan wadai apam tersebut, yaitu item manis. (tak tahu sumbernya dari mana).

Satu hal yang menarik di Kota ini yaitu, saat saya menyusuri jalan-jalan utama ada beberapa tiang yang bertuliskan asma-asma Allah setiap 5-10 meter. Se-ingat saya hanya Barabai dan Kandangan yang memiliki ciri khas seperti ini.

Waktu perjalanan menuju arah Birayang dari Pagat, pemandangan indah pegunungan yang membujur dari selatan keutara begitu elok saat matahari berada di puncak ubun-ubun. Sayang, saya tak sempat mengambil gambar dan tak tahu siapa dan apa nama gunung tersebut...T_T. Kalau tidak salah pegunungan meratus ya???

Satu lagi keinginan saya untuk mengunjungi objek pariwisata daerah ini, kata masyarakat setempat sih: wisata alam di Pagat.
Kata warga setempat Obyek Wisata Pagat terletak di Kecamatan Batu Benawa, berjarak sekitar 7 km dari kota Barabai. Obyek wisata alam ini merupakan salah satu obyek wisata andalan Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan sudah terkenal di wilayah Kalimantan. Obyek wisata ini ditandai panorama alam yang indah, udara yang sejuk, bukit dan sungai yang jernih.

Selain itu terdapat sumber air jernih dari dalam Goa yang berada dikaki bukit Batu Bini. Bukit ini menurut legenda merupakan pecahan dari kapal milik Raden Pengantin si anak durhaka. Untuk menyeberangi sungai menuju bukit, pengunjung dapat menggunakan rakit (lanting) atau jembatan gantung. Untuk memudahkan pengunjung mencapai puncak bukit telah dibangun tangga kayu. Dari puncak bukit ini pengunjung dapat melihat pemandangan kota Barabai dan sekitarnya.


Sayang seribu sayang waktu saya habis diperjalanan. Saat itu rezeki untuk sekalian alam sedang dibagikan (Hujan), jadi saya tak sempat berkunjung kesana. Jika Allah mengizinkan pada kesempatan yang akan datang ingin menikmati keindahan ciptaan Allah sebagai tanda-tanda kebesarannya.

Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. [AL-A'raaf:57]

Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. [Ibrahim: 32]

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan
Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?

[AL-Al Ghaasyiyah :17-20]


3 hari saya rasa tidak cukup untuk menikmati pesona dan suasana bermalam di dua dari lima banua yang ada disebuah provinsi Kesultanan Banjar. Propinsi ini meliputi sebagian besar wilayah Hulu Sungai di Kalimantan Selatan.


30042010 9.30am