Thursday, August 26, 2010

Strategi Menulis FF

Strategi Menulis FF

Sumber: http://saturindu.multiply.com/journal/item/415/Strategi_Menulis_Flash_Fiction

FF merupakan seni menuang kata di ruang terbatas. Ibaratnya, kita diberi beberapa kaleng cat, lantas kita diminta mengecat semua dinding dalam ruangan. Semakin sedikit kaleng yang dipunyai, semakin hati-hati kita mengecat. Agar tidak banyak residu yang terjatuh di lantai.

Membuat FF dengan 1000 kata, tentu berbeda dengan membuat FF dengan 100-200 kata. Dalam FF 1000 kata, kita masih boleh boros dalam pemakaian kata. Alur yang dibuatpun, masih bisa meliuk, seperti benang layang-layang. Tetapi tidak demikian halnya dengan cerpen 100-200 kata. Alur yang kita buat, pantang kendor sedikitpun. Seperti benang gitar, FF 100-200 kata harus tercencang kencang. Padat bahasa dan sarat makna.

Syarat-syarat FF:

Walau FF merupakan cerita yang sangat singkat, unsur-unsur seperti terkandung dalam cerpen/novel juga harus dimiliki. Semisal: Karakter, Setting, Konflik & Resolusi, tema, pesan/moral.

Struktur alur berupa awalan, pertengahan, dan akhir cerita juga harus ada.

Bagaimanakah Strateginya?

1. Cari sebuah ide kecil dari cerita besar

Novel Siti Nurbaya atau Tak Putus Di Rundung Malang merupakan contoh dari sebuah gambaran cerita besar yang kompleks. Kisah-kisah kompleks seperti ini sudah pasti tak akan bisa dituliskan dalam bentuk FF, karena keterbatasannya dalam kata. Yang bisa dilakukan oleh FF, mengcapture salah satu bagian atau sekuelnya, dan mengangkatnya menjadi sebuah cerita.

Misalnya adegan pernikahan paksa Siti Nurbaya dan Datuk Maringgi. Tulisan FF yang bisa dibuat, ”Lebih baik mati perawan dari pada menikah dengan lelaki bajingan!” Atau sekuel pertempuran datuk Maringgi dan Samsul Bahri yang berakhir kematian si Datuk, bisa kita buat versi FF. ”Lunas sudah dendam ini, pada lelaki tua tak tahu diri, yang menikahi orang yang sudah punya kekasih!”

Demikian pula dengan tema besar hubungan ortu dengan anak. Untuk mengangkat kisahnya yang kompleks dengan karakter yang kuat, dibutuhkan berpuluh-puluh lembar halaman, bahkan ratusan. Novellete atau Novel adalah genre yang cocok untuk hal ini.

Dengan memecah tema besar menjadi tema yang lebih kecil, kita bisa mengcapture salah satu bagian dari hubungan ortu-anak yang kompleks. Misalnya, adegan ibu yang mendapati anaknya bolos sekolah. Atau, sikap seorang Ayah menyikapi raport merah anaknya, rasa kecewa anak karena urung liburan ke luar kota, dll.

2. Lupakan pengantar pada awal cerita

Banyak orang terbiasa membuat pengantar di awal cerita dengan mendeskripsikan latar/setting tempat atau suasana. Lihatlah beberapa contoh awal FF yang gagal.

Cerita 1

Dari atas bale-bele bambu di teras rumah reotnya, Hamidah memandangi langit malam Batam yang telanjang. Seronok memancar taburan bintang. Sayangnya, gemerlap kerlap-kerlip yang tiap malam dipandanginya itu tak senada dengan huru-hara di hatinya.

Cerita 2

Nn. Grey adalah seorang juru ketik yang tinggal di Kota Pelangi. Setiap pagi, gadis muda berwajah biasa-biasa saja ini akan menggelung rambut hitamnya menjadi sebuah sanggul kecil. Kemudian mengenakan setelan abu-abu yang sewarna dengan matanya. Dengan sepasang kaki mungilnya terbungkus sepatu hitam yang disemir mengkilap, Nn. Grey akan berjalan kaki ke kantor tempatnya telah bekerja selama sepuluh tahun lamanya.

Cerita 3

Seekor bebek kuning berenang sambil sedikit demi sedikit meleleh di atas permukaan larutan cokelat putih yang mulai sedikit menggumpal. Aku memesan white choco melt extra marshmallow and cinnamon (with chef recommended). Nama yang mentereng dengan aroma manis dan rasa yang luar biasa.

Dia, yang duduk di depanku, memesan dark choco melt extra marshmallow and mint (which is best seller).

Suasananya menyenangkan. Sebuah ruangan dengan lampu kuning dan bangku-bangku kayu cokelat dengan gurat-gurat perkembangan di tubuhnya. Musik jazz yang mengalun seakan memenuhi ruangan dengan lembut dan sempurna.

Pada contoh 1, penulis terlalu banyak menghamburkan kata untuk mendeskripsikan latar/suasana yang sebenarnya tidak perlu. Contoh 2, lebih parah lagi! Kenapa tak disebutkan sekalian jenis parfum dan make up yang ia pakai? Cerita detail begini, lebih cocok untuk cerpen atau novel, karena mengekspolarasi karakter dengan detail. Contoh 3 makin parah!

Sekali lagi, patut diingat:Lupakan kata pengantar!

Lantas bagaimana? Baca nomer 3.

3. Mulailah dari pertengahan aksi

Senada dengan teknik nomor 2, mulailah bercerita di bagian tengah aksi. Misalnya, adegan seorang pria berlari tergesa; suara jeritan keras, munculnya ’penampakan’ di dalam kamar; dialog yang padat, dll.

“ Lagi ! “
Waitress melangkah gontai kearahnya. “ Anda sudah mabuk berat tuan “

Dengan hanya dua baris pembukaan sebagaimana dialog di atas, penulis berhasil menggambarkan setting dan karakter/tokohnya. Memang, tidak ada deskripsi sama sekali kata penunjuk tempat. Tetapi, justru disitulah letak keberhasilan penulis. Tanpa harus memberi label ’bar’ pada tulisannya, dialog di atas sudah cukup menggambarkan suasana sebuah bar. Dimana lagi seorang waitress dan pemabuk bisa bertemu?



4. Bidik titik terpenting/ terkuat

Pada nomer 1, sudah dijelaskan bagaimana dari sebuah cerita yang panjang, kita bisa meng-‘capture’ (membidik) gambaran yang terkuat/terpenting, yang menjadi klimaks dari cerita. Pada contoh nomer 1, Pernikahan Siti Nurbaya dan Datuk Maringgi merupakan sebuah klimaks, karena saat itu terjadi ketegangan antara Samsul Bahri dan bapaknya. Peperangan Samsul Bahri dan Datuk Maringgi juga merupakan klimaks, karena mempertemukan dendam amarah kedeua belah pihak.


5. Buatlah pembaca menebak-nebak sampai akhir cerita

Bila memungkinkan, pertahankan misteri hingga akhir cerita. Pembaca mungkin tidak memiliki gambaran global tentang keseluruhan cerita. Informasi yang mereka terima, bisa jadi sepotong-sepotong. Seperti penggalan mozaik yang terserak, biarkan nalar mereka merangkai sendiri tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Sebagai kompensasinya, bagian ending (akhir) cerita harus dibuat menawan, menyentuh, atau tak terduga.

6. Gunakan referensi/rujukan

Kita bisa menggunakan referensi yang mengarah pada sebuah kejadian, tokoh atau hal-hal yang jamak diketahui oleh pembaca secara umum. Misalnya, peristiwa perang dunia pertama, kapal Titanic, Sumpah Palapa, Enstein, dll. Dengan menggunakan rujukan demikian, kita tak perlu menceritakan kejadian dan detail yang semua orang sudah mengetahui. Contohnya, kejadian yang menimpa kapal Titanic, tak perlu kita sebutkan penyebab karamnya kapal tersebut. Sumpah palapa, tak perlu kita sebutkan siapa yang mendeklarasikannya, apa tujuannya, dll. Sama halnya ketika berbicara tentang sebutan Einstein, maka aksioma yang muncul adalah pria cerdas. Dengan menghindari menceritakan detail-detail, kita sudah berhemat kata.

No comments:

Post a Comment